JALAN
BUDAYA
MENUJU
PENCERAHAN DESA-DESA DISUMBANG
Saat ini
banyak desa kehilangan jatidiri, kearifan lokal, dan aura kebanggaan pada
desanya sendiri. Ini terjadi karena desa dibangun dengan pola yang sama,
seragam, desa membuat laporan yang sama, seragam, membangun tanpa melihat
potensi desa,kearifan lokal, desa makin jauh dari masyarakatnya, desa hanya
menjadi kepanjangan birokrasi pemerintah, bukan menjadi desa otonom, yang
berhak mengatur desanya secara merdeka, sehingga semua desa mampu mencari potensinya secara maksimal demi
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya.
Intervensi yang terlalu besar,
menyebabkan semua desa tidak mampu mandiri, hanya ada satu penafasiran tunggal,
bahwa desa akan maju bila dibangun dengan dana yang besar, uang menjadi segalanya, kebersamaan
makin menghilang, muncul faksi-faksi didesa yang saling berebut pengaruh,
sejatinya tidak mungkin ada desa yang mampu maju dan sejahtera yang dibangun
tanpa partisipasi masyarakatnya, pemerintah harus seiring sejalan dengan
masyarakat, memuliakan alam, mencari pola pembangunan yang mampu bersahabat
dengan alam, jangan terlalu mengeksplorasi alam secara berlebihan, keseimbangan
antara manusia dan alam akan menjadi kunci pembangunan pada masa depan.
Demi hasil panen yang semakin
besar, maka para petani mengexplor secara berlebihan tanah pertaniannya,
menggunakan pupuk kimia, obat kimia, bibit pabrikan, tanah dipaksa untuk terus
menerus ditanami jenis yang sama sepanjang tahun tanpa jeda, alih-alih hasil
bertambah melimpah, justru makin berkurang, tanah menjadi gersang membatu, hama
tanaman makin berkembang, predator alami mati karena pupuk dan obat kimia, ini
artinya manusia telah memutus matarantai alam, daur kehidupan tanaman,hewan dan
manusia dalam satu keseimbangan yang harmoni. Bila kondisi ini terus
berlangsung maka pasti akan terjadi bencana besar, yang akan menggilas semua
mahluk hidup dibumi ini.
Jalan budaya merupakan salah satu
alternatip atau cara membangun desa-desa dikecamatan Sumbang, yang didasarkan
pada potensi desa dan kearifan lokal yang riil ada, budaya akan mampu
mengembalikan jatidiri desa, aura kebanggaan,desa mengetahui para tokoh pendiri
desa yang mampu menjadi panutan dan menginspirasi para pemimpin masa kini untuk
mampu berbuat lebih baik dari para pendahulunya. Mencari pahlawan lokal ( local
hero ) ini menjadi penting, untuk merubah pola pembangunan yang selama ini
fokus pada pembangunan fisik, berubah pada pembangunan yang fokus pada
manusianya, sehingga pemberdayaan, kemandirian,dan penguatan masyarakat akan
menjadi inti dari pembangunan desa.
Pemberdayaan dan kemandirian,
harus dimulai dengan menggali artefak sejarah desa, menemukan tokoh yang mampu
menjadi mascot desa,untuk itu maka harus menengok situs, makam-makam
tua,legenda desa atau apapun yang mampu menjadi pijakan untuk memberi
kebanggaan, dan menjadi identitas desa yang khas, dan berbeda dari desa yang
lain. Bila ini yang akan dicari maka sebenarnya, nguri-uri makam tua,situs desa
hanya merupakan pijakan awal, menentukan arah desa, sehingga tidak perlu ada
kontroversi dengan kelompok tertentu ( mashab agama ), karena memang tidak ada
niat untuk memuja batu kayu, mencari jimat atau yang lain, apalagi sampai
menyekutukan tuhan dengan menyembah batu.
Modernisasi pertanian ternyata
hanya meminggirkan para petani sangat bergantung pada produk pabrikan, misal
pupuk kimia, obat kimia, bibit tanaman, ini yang menghilangkan kemandirian
petani, mekanisasi pertanian meminggirkan para buruh tani, hanya menjadi
penonton disawahnya sendiri. Sawah menjadi semakin gersang membatu,hama
pertanian berkembang dengan pesat, predator alami mati karena obat kimia, tanah
di explorasi secara membabi buta, ditanami jenis yang sama sepanjang tahun
tanpa jeda, alih-alih hasilnya bertambah, tetapi justru makin tahun makin
berkurang, hama sulit dikendalikan, bila kondisi ini terus berlangsung, pasti
bencana besar akan melanda para petani, sehingga kembali pada pola pertanian
yang bersahabat dengan alam, adalah suatu keharusan, manusia harus merangkai
kembali pola pertanian yang harmoni, menjaga siklus hidup antara manusia, hewan
dan tumbuhan, pada siklus yang serasi tidak saling membunuh tetapi saling
mendukung, sesuai dengan kodrat alam yang selalu dalam keseimbangan yang
harmonis.
Kembali ke pola pertanian
tradisional ternyata tidak mudah, ini tergambar dari apa yang sudah diupayakan
pemerintah, para petani sudah diberi penyuluhan,diberikan pupuk organic gratis, membuat pelatihan,
mengurangi jatah pupuk kimia, tetapi semua yang dilakukan hanya menuai
kontroversi dimasyarakat, ini terjadi karena pola yang diterapkan tidak berubah
dari paradigm proyek, sehingga memberikan pupuk organic gratis pada petani,
berasumsi seperti memberikan raskin ( beras miskin ),asal masyarakat diberi
gratis pasti mau menerima, tetapi pada saat petani dengan patuh menggunakan
pupuk organic gratis itu, justru hasilnya menurun, hama tanaman bertamabah,
petani gagal panen, sehingga petani merasa sangat dirugikan oleh program
pemerintah itu, ini yang memicu kontroversi, sehingga program yang bagus dari
pemerintah, tetapi justru malah merugikan para petani, mereka menjadi korban
program yang sudah didesain sangat bagus, tetapi implementasinya dimasyarakat
sangat amburadul. Dengan biaya yang sangat besar, waktu yang terbuang sia-sia,
ternyata hasilnya justru menyengsarakan para petani sendiri. Mengapa ini
terjadi, karena paradigma proyek yang menjadi faktor utama, petani hanya
dilihat sebagai alat bukan manusia, sehingga program pemerintah dilakukan
sangat mekanis, miskin ide dan sangat kering kreatifitas dilapangan.
Pertanian tradisional
sesungguhnya hanya mampu dilakukan bila didasarkan pada pemberdayaan dan
kemandirian, yang diawali dengan jalan budaya, para petani dan buruh tani harus
dibawa pada pola tradisional masa lalu, bagaimana nenek moyang kita mengolah
tanah pertaniannya secara bijak, tanpa meng ekspolarsi secara berlebihan,
tujuan bertani bukan untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya tetapi
melakukan pola tanam yang harmoni dengan alam, maka symbol, ritual petani masa lalu
harus mulai dihidupkan kembali, sehingga petani tidak kehilangan jatidiri,
melakukan ritual yang sangat dekat dengan budaya nenek moyang kita, yang
intinya adalah menyelaraskan dunia peratanian dengan alam semesta ini. Ini
sebenarnya inti dari jalan budaya, yaitu mendorong para patani kembali pada
tradisi masa lalu, sehingga mampu mengelola tanah pertaniannya dengan cara yang
bijaksana dan lestari. Untuk mampu mencapai ini, maka yang paling utama adalah
meng edukasi pemikiran para petani dan buruh taninya, bukan langsung memberi
bantuan pupuk organic pada petani.
Pola pertanian organic, harus
dimulai dari ruang yang sangat sempit yaitu lingkungan RT, dengan cara meng
edukasi semua masyarakat terutama ibu rumah tangga disatu RT itu, untuk mau
dengan sukarela menanam sayuran dalam polybag, yang dilakukan serempak disemua
rumah diRT itu, membentuk kampong hijau mandiri sayuran, dengan menanam dan
merawat jenis sayuran yang bebas dari pupuk dan obat kimia, pertanian organic
yang ramah lingkungan,dan menghasilkan jenis sayuran yang lebih sehat dan
mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Pada saat awal semua rumah tangga
dibantu media tanam secara gratis, minimal setiap rumah menanam 10 ( sepuluh ) polybag,
juga deberi pelatihan cara membuat media tanam,membuat obat hama tradisional
dan mencoba menyemai semua bibit yang akan ditanam secara mandiri. Bila program
dalam satu RT mendapat respon positip dari warga, maka akan diteruskan secara
bertahap pada semua RT didesa itu, program ini tujuannya bukan sekedar menanam
sayuran, tetapi yang lebih penting lagi adalah memberi pelajaran pada
masyarakat untuk mampu menyiapkan sendiri media tanam, pupuk tanaman, obat
tanaman dan juga bibit tanaman, ini adalah meng edukasi kemandirian dalam pola
pertanian, seperti pola pertanian nenek moyang kita yang tidak bergantung pada
pabrikan.
Petani dan buruh tani yang sudah
bertahun-tahun menggunakan pupuk kimia,obat kimia,bibit pabrikan, mekanisasi
pertanian, akan sangat sulit untuk berubah menggunakan pola pertanian tradisional, maka harus menggunakan cara atau
jalan budaya yaitu menggunakan symbol-symbol masa lalu, yang sekarang sudah
hilang, untuk membimbing masyarakat tani kembali kepola pertanian nenek moyang
kita, sebagai jalan yang terbaik, untuk secara bertahap meninggalkan pola
pertanian yang bergantung pada produk pabrikan.
Semoga dengan jalan budaya, desa-desa
menemukan kembali jatidiri desa, membangun berdasar kearifan lokal dan potensi
desa yang riil ada, masyarakatnya kembali mempunyai aura kebanggaan pada
desanya, semua ini hanya mampu dicapai bila pola pembangunan fokus pada
manusianya, pemberdayaan dan kemandirian menjadi inti dari pola ini.
Sumbang,
01 April 2015
BKAD
SUMBANG
0 komentar:
Posting Komentar