f BANYUMAS ~ UPK PNPM Kec. Sumbang

Kamis, 23 April 2015



BANYUMAS
ITU DESA BUKAN KOTA
                

            Pernah mendengar istilah “ City branding” yang pada saat hari jadi Banyumas tahun 2015 ini mengemuka, dan menjadi berita utama, koran lokal, yang disambut dengan heboh oleh banyak orang, seolah menjadi sesuatu yang baru sebagai kado ulang tahun Banyumas yang ke 433 . Menjadi hal penting karena masuk dalam agenda acara hari jadi Banyumas, menjadi mata acara lomba desain, yang kebetulan pemenangnya justru bukan dari Banyumas, tetapi dari luar daerah, kalau itu menjadi semacam ichtiar untuk lebih mampu mengenalkan Banyumas, pasti banyak orang akan setuju, walau belum paham benar apa maksudnya dan apa yang mampu dilakukan dengan mempunyai branding itu, tetapi segala upaya memang harus dilakukan untuk mengenalkan Banyumas pada orang lain dimana saja.
             Kita sudah punya mascot “ Bawor “ yang sekarang nempel disemua kaos PNS, seperti sedang masa kampanye saja, tetapi sayang hampir semua upaya itu masih sebatas pemasalan, seperti program-program masal lainnya yang dahulu sering dilakukan oleh pemerintah pada orde sebelumnya, mengenakan pakaian daerah pada hari tertentu, itu juga salah satu upaya, tetapi tetap saja belum mampu secara nyata meniupkan optimisme baru sebagai salah satu warga Banyumas, yang kebetulan hanya masyarakat biasa, semua upaya diatas masih dianggap sebagai seremonial, bedak atau pupur budaya yang lebih parah lagi bila hanya tiru-tiru daerah lain. Coba teman-teman bayangkan, bila program menggunakan pakean daerah, baju batik, kaos bawor tujuanya adalah untuk membangkitkan kembali produk kain tradisional yang diBanyumas sudah hilang, batik Banyumas yang sedang muncul kembali, mendorong industry konveksi seperti kabupaten Bandung,  menggunakan pakean daerah baju batik dan kaos bawor pasti akan lebih berdampak pada perekonomian masyarakat kecil, bukan cuma pamer baju baru dan kaos baru.



              Fenomena batu akik, malah lebih dahyat, walau semua orang sadar bahwa itu adalah fenomena sesaat, tetapi langsung berdampak pada banyak orang, yang tadinya pengangguran jadi mempunyai kegiatan dalam dunia akik, ada yang jadi penambang, perajin, penjual, bahkan menjadi pengamat batu akik menjadi profesi baru, seperti pengamat politik,pengamat kebijakan publik dan yang lain.
             Hari jadi Banyumas, sudah beberapa kali diperingati, ide dasarnya bagus, sudah menjadi mata acara yang rutin, dengan segala macam rangkaian acaranya sudah ditunggu oleh masyarakat, minimal sudah bisa menjadi sesuatu yang ditunggu banyak orang, walau belum mampu menyamai fenomena batu akik, yang mampu meng Indonesia.  tetapi acara ini belum mampu menjadi agenda budaya yang khas Banyumas, karena memang kurang ide kreatip, yang seharusnya terus menerus hadir setiap tahun .
             Kata kuncinya adalah kreativitas, apapun ide dasarnya, tanpa dibarengi dengan kreativitas yang terus menerus hadir, acara apapun akan menjadi hal yang klise dan lama-lama membosankan, acara hari jadi Banyumas ada lomba kenthongan, ini sudah menjadi sesuatu yang membosankan, walau penonton membludak, orang mau menunggu sampai dinihari, tetapi itu karena selama ini memang Banyumas jarang ada ide menyelenggarakan even budaya, lomba kenthongan bukan karena menarik tapi timbang oran ana liyane, ya tetep bae ditonton, iya mbok.
              Alih-alih ada ide baru, kreativitas baru, malah yang muncul hanya symbol-symbol yang sangat samar, dan tidak jelas mau digunakan untuk apa, kalau hanya untuk menjadi symbol apa mas Bawor belum cukup, saya sering diledek teman-teman dari Jogya, kalau mau  membuat icon, ambil gambar wayang saja ko milihnya Bawor, sudah batuke nonong, lambene kandel, mripate mendolo, kringete mambu, kenapa sih Banyumas tidak memilih tokoh yang gagah, sekti, bagus, atau yang  modern seperti superman misalnya, sebagai orang Banyumas asli akhirnya harus menjelaskan filosofi Bawor itu, walau apa yang saya jelaskan belum tentu tepat,  yang pasti dari pada diledek terus, hanya masalah penampilan mas Bawor.  Tetapi justru setelah saya mampu menjelaskan filosofi Bawor pada orang lain, saya jadi bertanya apa benar teman-teman yang bangga memakai kaos Bawor , semua sedah faham filosofi Bawor itu ?,  ini sebetulnya yang saat ini harus direvitalisasi kembali, yaitu filosofi Bawor, wong mengidentifikasi diri sebagai Bawor tapi masih ada korupsi,  tindakan dengan perkataannya berbeda, yang diutamakan penampilan bukan pemikiran, bekerja dengan pamrih, arogan,sombong dan yang lain, seperti itu pasti belum mampu memahami filosofi Bawor, mestinya  membuat Banyumas bebas korupsi, mengutamakan daya pikir dari pada penampilan, bicara apa adanya, apa yang ada dihati, diwujudkan dalam tindakan nyata, itu dulu yang dilakukan baru memakai kaos Bawor, bila itu yang dilakukan kami orang awampun pasti akan bangga memakai kaos Bawor, walau lambene kandel, batuke nonong, ndobleh, tetap saja bangga dengan mas Bawor.

             City branding atau apapun, boleh saja tetapi kalau hanya menjadi symbol yang tanpa makna, nantinya untuk apa, orang hanya membeli bayangan, tetapi tidak akan merubah apapun, masih banyak hal riil yang harusnya dilakukan warga Banyumas, bukan hanya bermain dengan symbol, untuk mengejar ketinggalan dengan kabupaten lain yang sudah lebih maju.

              Sejatinya Banyumas itu adalah desa, kesadaran dan pengertian ini menjadi penting, agar apa yang menjadi cita-cita Banyumas itu tetap berpijak dibumi, bumine wong penginyongan, coba kita simak secara cermat, teman-teman dikecamatan Banyumas, dengan gencar mengusulkan revitalisasi kota lama Banyumas, itu hal positip untuk membuat kota lama Banyumas hadir kembali, ada pelestarian artefak budaya, gedung-gedung tua direvitalisasi menjadi gedung yang megah kembali, ini pasti butuh dana dan pemikiran yang sangat teliti, karena merevitalisasi kota bukan hanya mengecat bangunan lama, tetapi yang paling penting adalah menghidupkan aura kota, itu bukan urusan yang mudah dan perlu banyak ahli-ahli yang terlibat, dan ini yang paling penting pada saat kita semua sudah mampu menampilkan kota lama Banyumas dengan segala aura lamanya, tetapi yang akan muncul budaya Belanda, budaya bangsa penjajah bukan budaya Banyumas, apa kita mau mengidentifikasi budaya Banyumas itu dengan budaya Belanda ?, memang sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa wilayah Banyumas pernah dijajah oleh Belanda puluhan tahun, tetapi tetap saja orang akan sangat sulit menerima bahwa budaya Banyumas, akan diidentikan dengan kota lama yang menjadi produk budaya Belanda. City branding juga akan menjadi hal yang sama seperti mas Bawor, dan kota lama Banyumas, akan menjadi lokasi yang khusus dan berbeda dengan daerah lain, tetapi tetap bukan menjadi identitas budaya Banyumas, karena Banyumas itu desa bukan kota.
                                                   
 

  Sampai hari ini, belum ada tempat atau wilayah yang layak disebut sebagai miniatur Banyumas secara budaya, orang Banyumas selalu bangga bahwa Banyumas mempunyai kesenian tradisional yang khas, jumlahnya lebih dari limapuluh jenis, kesenian tradisional itu hanya ada diBanyumas, tetapi mengapa seni tradisi ini belum mampu mengundang turis misalnya untuk datang ke Banyumas, padahal para turis mancanegara yang datang ke Indonesia, biasanya dari Jakarta menuju Bandung melihat seni dan budaya Sunda, setelah itu lewat jalan darat menuju Yogyakarta atau Surakarta, memang Banyumas akan disinggahi para turis, tapi hanya untuk jeda istirahat makan siang, ini yang selalu ada didata Dinas Pariwisata Banyumas, bahwa kunjungan turis asing hanya sehari, membelanjakan uang sebesar rata-rata Rp 200.000,- saja per orang, sekarang menjadi jelas bahwa turis asing datang ke Banyumas yang benar bukan sehari, tetapi hanya beberapa jam saja, dan membelanjakan uang hanya untuk bayar parkir dihotel dan makan siang yang memang harganya hanya sebesar itu, makan nasi goreng misalnya. Kenapa turis tidak tertarik melihat keunikan Banyumas, padahal wilayah Banyumas secara budaya, menjadi wilayah peralihan dari budaya Sunda ke budaya Jawa keratonan, mestinya  ada banyak hal unique yang mampu menjadi daya tarik para turis mancanegara itu, tetapi ternyata ini tidak terjadi,  karena memang Banyumas belum mampu menampilkan hal yang sangat dibutuhkan oleh turis manca yang datang ke wilayah ini . Pengelola wisata Banyumas sering salah kaprah, presepsinya terhadap turis asing misal turis dari negeri Belanda, sering tidak tepat dan absurd, mereka dianggap orang dari negeri antah berantah, yang sangat asing terhadap budaya Jawa, apalagi Banyumas, padahal sejatinya mereka yang datang ke Baturaden misalnya, mereka telah membaca dengan baik sejarah berdirinya tempat wisata Baturaden, karena yang membangun wisata ini adalah nenek moyangnya, yang pada saat itu menjajah negeri kita, mereka memahami benar Banyumas, apa kesenian tradisionalnya, apa bahasanya, bagaimana sejarahnya, ingat untuk menjadi ahli sejarah Jawa, orang harus belajar ke negeri Belanda, karena artefak dan buku-buku asli tanah Jawa justru ada diperpustakaan negeri Belanda. Tanpa memahami minat para turis dari negeri Belanda yang malah lebih paham masalah Banyumas dari pada kita sendiri orang Banyumas, maka diperlukan reformasi pola pikir yang sangat mendasar bagi para pengelola wisata Banyumas, bila tidak ingin wilayahnya hanya sekedar untuk perlintasan turis dari mancanegara yang akan pergi ke Jogya dan  Solo.

            Mulailah menata wisata Banyumas dengan pengertian dasar bahwa Banyumas itu adalah desa, ini sangat penting dan mendasar, selanjutnya harus mendesain desa wisata budaya, yang mampu memberikan AURA Banyumas secara budaya, baik lokasi,suasana dan pendukung wisata yang lain, bila Banyumas adalah desa maka tidak perlu dibangun hotel bertingkat yang mewah dan megah, kesenian tradisional Banyumas unique tetapi tempatnya tersebar di duapuluh tujuh kecamatan, turis tidak mungkin jalan-jalan ke 27 kecamatan hanya untuk melihat kesenian tradisional se unique apapun. Sehingga membangun destinasi wisata budaya yang mampu menampung semua jenis kesenian tradisional, kuliner tradisional, souvenir khas Banyumas menjadi kebutuhan yang tepat untuk menjawab tantangan  agar turis mancanegara mau mampir dan berkunjung ke Banyumas secara sebenarnya ( bukan hanya numpang lewat ).
             Konsep Desa Budaya Gandatapa ( DBG) adalah salah satu alternatip yang ditawarkan, yang akan mampu menjadi jawaban turis mancanegara atau wisatawan lokal mau datang keBanyumas, lokawisata Baturaden sudah ketinggalan jaman, maka harus hadir destinasi wisata budaya yang lebih fresh dan menjanjikan aura baru, yang menampilkan wajah asli Banyumas, yaitu alam  pegunungan, pedesaan,  belajar kesenian tradisional, kuliner khas, dan juga souvenir khas Banyumas, bila ini yang mampu disiapkan misalnya turis asing diajak untuk belajar menari Bongkek, Ujungan, Biaksi atau yang lain ini pasti akan menarik, bukan hanya sehari dua hari, mungkin bisa lebih untuk menikmati keunikan alam Banyumas yang sebenarnya, itu semua hanya ditemukan dikomplek Desa Budaya Gandatapa ( DBG )
             

             Pada konsep DBG menarik kunjungan wisatawan mancanegara bukan tujuan, tetapi yang utama adalah melestarikan semua kesenian tradisional Banyumas, yang pernah ada, yang saat ini satu persatu hilang karena pelakunya mati, bila tidak ada penyelamatan secara nyata, maka anak cucu kita pasti akan kehilangan miliknya yang paling berharga yaitu kesenian tradisional budaya asli Banyumas, sehingga membangun DBG adalah sebuah investasi masa depan, yang mampu bersinergi dengan upaya untuk mendatangkan turis mancanegara ke Banyumas.
                 
        Semoga Gusti Alloh, selalu memberi jalan terang, bagi semua orang yang mau memberikan sedikit waktu dan pikiranya untuk membantu kemajuan desa, kecamatan dan kabupatennya, selamat hari jadi Banyumas semoga tulisan ini mampu menjadi kado ulang tahun, tulisan ini diilhami oleh gambar Bawor yang salah satu sifatnya adalah mengutamakan pikiran yang cerdas bukan penampilan.

Sumbang , 09 April 2015

               
            

0 komentar:

Posting Komentar

Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Templates | NewBloggerThemes.com | Modified by Rangga Setiawan